masukkan script iklan disini
Simak breaking news Sukabumi dan sekitarnya langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita BUZZERSUKABUMI.COM WhatsApp Channel - (Click here) Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
BUZZER SUKABUMI COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari janji kampanye, terus menjadi sorotan publik. Meskipun memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui di seluruh Indonesia, pelaksanaan di lapangan dinilai belum sejalan dengan ekspektasi awal.
Menurut Santi Legianti Sutandi, Dosen STISIP Widyapuri Mandiri Sukabumi, program ini menggambarkan ketimpangan antara idealisme kebijakan dengan realitas implementasi. Ia menyebut MBG sebagai “janji antara harapan dan kepahitan realita”.
“Program ini berada di persimpangan antara harapan besar dan kenyataan yang pahit. Pemerintah memang layak diapresiasi atas niat baiknya, namun pelaksanaan teknis di lapangan menunjukkan banyak ketidaksiapan. Bahkan, sejumlah daerah terpaksa menunda pelaksanaan karena buruknya koordinasi dan masalah logistik,” ujar Santi saat dihubungi buzzersukabumi.com, Rabu 20 Februari 2025.
Ia menyoroti bahwa alih-alih menjadi solusi konkret terhadap stunting dan ketimpangan pangan, Program MBG justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan dari masyarakat. Beberapa dapur umum yang dibentuk demi mendukung program, seperti di wilayah Kalibata, harus menghentikan operasional akibat dana yang tak kunjung dicairkan.
“Pengusaha katering mulai mengalami kerugian. Harga ditekan, kualitas tetap harus tinggi, tapi pembayaran molor. Bahkan, ada kasus anak-anak yang mengalami keracunan akibat makanan basi. Ini bukan insiden sepele, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam perencanaan dan distribusi,” jelasnya.
Dengan anggaran jumbo yang mencapai Rp400 triliun, Santi menilai program ini sangat rawan penyimpangan apabila tidak diawasi secara ketat. Ia mengingatkan bahwa tanpa sistem audit dan pengawasan menyeluruh, celah korupsi terbuka lebar, mulai dari pengadaan bahan pangan hingga penyaluran dana.
Dosen bidang kebijakan publik itu juga membandingkan dengan pengalaman negara seperti Brasil dan Kenya yang pernah melaksanakan program serupa. Keduanya berhasil dengan mengandalkan kemitraan lokal, keterlibatan masyarakat, serta pengawasan transparan.
“Sayangnya, Indonesia tampaknya tergesa-gesa dalam implementasi. Tanpa kajian mendalam, kesiapan infrastruktur, dan evaluasi menyeluruh, program ini berisiko hanya menjadi proyek politik sesaat yang membangun harapan semu,” tambahnya.
Santi menegaskan bahwa MBG seharusnya bukan sekadar simbol kebijakan populis, melainkan wujud nyata pemenuhan hak anak atas makanan sehat dan bergizi. Ia berharap pemerintah lebih mengutamakan evaluasi dan perbaikan sistemik dibanding hanya mengandalkan angka-angka keberhasilan di atas kertas.
“Gagalnya pelaksanaan MBG bukan hanya soal administrasi, tapi menyangkut kredibilitas negara dalam menunaikan janji kepada generasi penerusnya. Yang dibutuhkan saat ini adalah langkah nyata, bukan narasi politik. Tanpa itu, program ini hanya akan menjadi simbol dari janji yang tak pernah ditepati,” tutupnya.