BUZZERSUKABUMI.COM - Industri beras di Indonesia mencerminkan betapa rumitnya pembangunan sektor pertanian. Dalam kerangka pembangunan nasional, arah kebijakan sebenarnya sudah jelas: meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperkuat ketahanan pangan berbasis lokal, menciptakan nilai tambah produk, memperluas aktivitas ekonomi, dan membuka lapangan kerja melalui pengembangan agribisnis.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan kita masih sering terjebak pada cara pandang sempit. Beras diposisikan sebatas produk akhir, bukan bagian dari rantai agribisnis yang luas dan berpotensi menghasilkan banyak nilai ekonomi. Karena itu, dibutuhkan perubahan paradigma agar semua pihak yang terlibat memiliki pemahaman baru mengenai industri padi.
Agribisnis sejatinya mencakup keseluruhan rantai nilai, bukan hanya soal budidaya. Dari sisi hulu terdapat penyedia sarana produksi seperti benih, pupuk, pestisida, dan mesin pertanian. Bagian tengah meliputi kegiatan budidaya padi, hortikultura, atau peternakan. Sedangkan bagian hilir berperan mengolah hasil panen menjadi produk setengah jadi maupun barang konsumsi, mulai dari beras, tepung, pakan, makanan, minuman, hingga destinasi agrowisata. Seluruhnya diperkuat oleh subsistem penunjang seperti riset, pembiayaan, transportasi, asuransi, pendidikan, dan kebijakan pemerintah. Jika seluruh subsistem ini bergerak selaras, maka ketahanan pangan akan berdiri di atas fondasi yang kokoh.
Masalah muncul ketika industri padi hanya dipersempit menjadi proses pengubahan gabah menjadi beras. Akibatnya, tarik-menarik harga gabah di petani dan harga beras di konsumen selalu terjadi. Jika harga gabah dinaikkan untuk menyejahterakan petani, harga beras melonjak dan membebani masyarakat. Sebaliknya, jika harga beras ditekan, petani yang menanggung kerugian. Situasi ini diperparah oleh praktik tengkulak maupun pedagang yang tetap menjaga margin keuntungan mereka, serta manipulasi kualitas beras seperti menambah kadar air atau pemutihan beras lama.
Untuk keluar dari lingkaran masalah tersebut, paradigma harus diubah: dari industri beras menjadi industri padi. Artinya, bukan hanya beras yang dimanfaatkan, tetapi juga seluruh produk ikutan padi. Sekam bisa diolah menjadi energi listrik atau bahan bangunan, bekatul menjadi minyak beras, kosmetik, obat, hingga pakan ternak, sementara menir dapat diubah menjadi tepung beras atau germ rice bernilai tinggi. Dengan diversifikasi ini, risiko ketergantungan pada fluktuasi harga beras dapat ditekan, pendapatan petani meningkat, dan konsumen tetap terlindungi.
Membangun Sistem Terintegrasi
Transformasi tersebut memerlukan dukungan kebijakan yang nyata. Pemerintah bisa memberi insentif berupa keringanan pajak, kemudahan perizinan, hingga pinjaman berbunga rendah untuk mendorong tumbuhnya industri pengolahan padi. Selain menciptakan lapangan kerja, hal ini akan memperkuat ekonomi daerah sekaligus mendukung ketahanan pangan nasional.
Namun kebijakan saja tidak cukup. Semua pemangku kepentingan pemerintah, akademisi, asosiasi profesi, dunia usaha, hingga petani—perlu berbagi visi yang sama. Kolaborasi menjadi kunci agar tidak ada pihak yang berjalan sendiri-sendiri. Nilai gotong royong, seperti kearifan lokal Sunda “sauyunan”, dapat menjadi filosofi perekat dalam membangun industri padi yang sehat dan berkeadilan.
Organisasi profesi dan asosiasi petani, misalnya PERHEPI, PERAGI, PERSAGI, HKTI, Dewan Tani, maupun KTNA, seharusnya berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan petani dengan dunia industri. Perguruan tinggi dan lembaga riset pun harus memperkuat peran mereka dalam menyediakan inovasi pasca panen, teknologi pengolahan modern, serta diversifikasi produk turunan padi. Dengan demikian, petani akan dipandang sebagai mitra sejajar, bukan sekadar produsen bahan mentah.
Keterbukaan komunikasi, transparansi dalam dialog, serta silaturahmi antar pelaku akan menumbuhkan rasa percaya dan mengurangi potensi konflik.
Inspirasi Perubahan
Contoh nyata dapat dilihat di Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicurug, Sukabumi. PT Lunafa Pangan Sejahtera berinvestasi pada teknologi pasca panen modern asal Vietnam dengan kapasitas pengolahan dua ton gabah per jam. Teknologi ini meningkatkan kualitas beras sekaligus memberi nilai tambah bagi petani. Lebih dari itu, inisiatif ini mendorong kemitraan sejajar dengan pedagang, Bulog, maupun tengkulak. Praktik seperti ini menunjukkan bahwa perubahan bukan sesuatu yang mustahil jika ada keberanian, dukungan regulasi, dan kesamaan visi.
Model serupa layak diperluas ke daerah lain sebagai solusi jangka panjang bagi problem klasik harga gabah dan beras.
Penutup
Industri beras tidak bisa lagi dipandang dengan cara parsial. Kita harus melihat agribisnis padi sebagai sebuah sistem terintegrasi yang menciptakan nilai tambah di setiap lini. Padi bukan sekadar sumber beras, melainkan sumber energi, kesehatan, teknologi, hingga bahan baku industri kreatif. Petani pun bukan lagi hanya produsen primer, tetapi pelaku usaha yang harus dihargai setara dengan industri lain.
Jika semua pihak mampu berjalan dalam visi yang sama, maka kesejahteraan petani akan meningkat, konsumen terlindungi, dan kemandirian pangan nasional dapat terwujud secara adil dan berkelanjutan.
Sumber: Antara News

Komentar0